MY FATHER IS A DRIVER, SUPERB!
BUKAN ANAK SOPIR BIASA
“Namaku Windi, hobiku menggambar, Mama’ku namanya Dewi, bapa’ku namanya
Sadi, mama’ku bekerja dirumah, bapa’ku bekerja di mobil... eh maksudku jadi
sopir”
Aku ingat bagaimana perkenalan
diriku saat duduk di bangku sekolah dasar, malu rasanya menyebut pekerjaan
bapak waktu itu sebab semua kawanku bapaknya adalah petani dan PNS, pekerjaan
yang umum dan banyak digeluti masyarakat di kampung baruku, maklum aku baru
pindah semester ini di sekolah dasar yang terbilang satu-satunya yang bagus, dan
hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah. Beberapa juga menyebut wiraswasta
meskipun aku tak paham apa itu wiraswasta tapi terdengar keren di telingaku.
Aku dengan sedikit menunduk berdiri dibangkuku yang terletak paling depan di
kelas memperkenalkan diri pada guru baru dan kawan-kawanku yang juga masih
baru. Dibandingkan kawanku yang lain, pekerjaan bapakku tiada duanya. Akupun
cukup canggung menyebutnya, dengan pelan dan wajah memerah aku sebut namaku,
nama ibu bapakku dan pekerjaan mereka seperti kawanku sebelum aku. Wajar saja
aku sedikit gugup sebab namaku yang disebut paling akhir entah benar atau tidak,
aku beranggapan absen di kelasku disusun berdasarkan abjad A B C D E F jadilah
huruf W yang menjadi awalan namaku berada di urutan 26 dari 28 siswa.
Meskipun malu dan gugup aku tetap
bertahan memploklamirkan identitasku beserta kedua orang tuaku. Saat selesai
seorang kawanku yang duduk tepat disampingku bertanya dengan pelan.
“ Apa bapakmu punya mobil?”
“Tentu saja, bapakku pakai mobil untuk bekerja. Mobilnya Pung Bakri,
orang yang punya rumah paling besar di sini” ucapku mulai mengangkat
wajahku, tak mau aku dianggap remeh di kampung ini, harga diri bagiku adalah
harga mati. Meskipun apalah harga diri itu aku tak paham samasekali. Kata harga
diri cuman terdengar sekilas di telepisi.
“Itu bukan mobil bapakmu tapi mobil orang” jawabnya sedikit
menggores harga diriku, yah harga matiku.
“ Tapi bapakku memakainya dan setiap hari disimpan di depan rumahku..
jadi itu mobil bapakku” aku cukup berani menaikkan nada suaraku, enak saja
bilang bapakku tidak punya mobil.
“ Apa hebatnya...” ucap seorang lagi entah siapa, siswa pindahan
sepertiku belum tentu langsung mengenali semua nama di kelas ini termasuk guru
yang sedang duduk di meja paling depan.
Aku tidak terima dikatai seperti
itu, apalagi menyangkut bapakku, meskipun awalnya aku agak malu memperkenalkan
bapak dan pekerjaannya yang berbeda dengan mereka, tapi aku cukup bangga pada
bapakku, siapa lagi yang bisa memberiku uang dua ribu rupiah setiap ke sekolah
kalau bukan bapakku.
“kau pernah makan roti maros tidak?” aku kembali bertanya setelah
mendapat ide untuk membuat teman-temanku bungkam, beberapa detik mereka terdiam
dan cukup berisik. Nah saatnya jurus pamungkasku dikeluarkan.
“hanya orang yang dari kota Makassar yang bisa makan roti maros”
“Bapakku setiap hari bawa roti maros, aku dan adikku sampai bosan
memakannya” ucapku lagi tenang dan
bangga. Jelas saja bagi kami yang tinggal di kampung, mendengar Makassar yang
notabenenya Ibu Kota Sulawesi Selatan, sebuah kota besar dan tempat dimana
orang kaya bekerja dan orang pintar bersekolah pastinya berdebar mendengar nama
itu. Apalagi setiap ke Makassar orang kampung pasti meminta oleh-oleh Roti
Maros, roti yang terkenal yang dibungkus surat kabar dan berisi selai dengan
gula merah yang dicampur santan. Roti yang merupakan simbol bahwa seseorang
baru saja dari Ibu Kota, meskipun dibeli bukan di Makassar tapi di Maros, kota
yang selalu dilewati setiap perjalanan Makassar-Soppeng, mendengar namanya saja
pasti banyak dari mereka langsung menelan ludah. Ahh...Makassar, terdengar
lebih keren daripada wiraswasta.
Kawan baruku yang baru kukenal
tadi pagi saat berangkat sekolah yang juga merupakan tetanggaku, Ema, menegurku
dengan berbisik “huss.. jangan bohong”
aku tidak bohong , jawabku membatin,
tersinggung jelas saja, Ibuku tidak pernah mengajariku bahwa berbohong itu baik.
“Bapakku bukan sopir biasa, dia
membawa penumpang dari Soppeng ke Makassar setiap hari, pulang balik.. dia sangat
hebat. Setiap hari bapakku selalu mendapat telpon dari penumpangnya, aku sampai
pusing mendengar telpon bapakku yang berdering setiap saat. Bapakku menjemput
setiap Maghrib dan pulang pagi, kata Mama’ku bapa’ku Cuma tidur tiga jam dan
bekerja lagi menjemput penumpang sampai subuh untuk dibawa pulang ke Soppeng.
Makassar bukan tempat baru baginya, dia tahu semua jalan.. emm.. Antang,
Alauddin, Minasa Upa, Jalan kancil, Hertasning” Aku mengingat kembali nama
jalan yang sering kubaca di buku daftar penumpang bapa’ku dan mencoba mengingat
apa saja nama aneh yang kudengar lewat percakapan bapa’ku dengan penumpangnya
“... Bapakku yang memperkenalkan penumpangnya dengan roti maros, karena
dialah yang menyetop mobilnya di toko roti itu. Makanya, bapakku selalu membawa
pulang roti maros, katanya dia dikasi gratis sama yang punya toko”
Aku sungguh tak ambil pusing
dengan sikap maluku sebelumnya, aku cukup membusungkan dada sebab apa yang
telah kusampaikan bisa saja lebih hebat daripada apa yang kawanku sampaikan
sebelumnya, jelas saja sekarang tidak ada yang menyela perkataanku. Bahkan
gurukupun diam mendengarkanku, sepertinya mereka lupa dengan perkenalan kawanku
sebelumnya. Setelahnya aku duduk kembali menampilkan wajah senang tanpa malu,
ekspresi andalanku saat dapat nilai seratus ulangan matematika saat di sekolah
lamaku.
“Windi, aku boleh kerumahmu?..”
“dia bilang sudah bosan makan roti maros,astaga...”
“ ...aku juga mau ikut”
“ Roti maros enak, tanteku yang sekolah di Makassar kadang membelinya
untukku..”
“ kalau kau mau pergi, pergi saja denganku aku tahu rumahnya Windi”
“ pulang nanti langsung kesana saja”
“..... aku belum pernah makan roti maros....”
Dan begitulah percakapan kawanku
setelah pidato hebatku tadi, ah aku bisa jamin pidatoku mungkin sama hebatnya
dengan pidato arek-arek suroboyo Bapak
Bung Tomo, yassalam Proklamasi kemerdekaan Indonesia saja yang berada dua
tingkat diatas pidatoku. Omong-omong, mulai saat itu kawanku justru lebih
mengenalku sebagai anak sopir yang selalu makan roti maros. Aku merasa hebat,
terang saja aku adalah anak sopir yang bukan sekedar sopir biasa. Pulang nanti
kawanku pasti mampir di rumah.
Suka akutuuu sama ceritanya :")
ReplyDeleteMaacih 😂 unsur real dan hiburan disyampur haha
DeleteTernyata dari orok luh udah sombong yaa... hehee.. menginspirasi sekali Widyacuu
ReplyDeleteIya yahh baru sadar juga gue hahaha
Delete